Friday 27 December 2019

REVALUASI ASET TETAP

Pengertian Revaluasi Aset Tetap

Revaluasi Aset adalah penilaian kembali aset tetap perusahaan, yang diakibatkan adanya kenaikan nilai aset tetap tersebut di pasaran atau karena rendahnya nilai aset tetap dalam laporan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh devaluasi atau sebab lain, sehingga nilai aset tetap dalam laporan keuangan tidak lagi sama.


Revaluasi aset tetap menurut ketentuan PSAK 16 tahun 1994 : diperkenankan. Standar menyebutkan “revaluasi aktiva tetap tidak diperkenankan karena penilaian dengan menggunakan harga perolehan, namun penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah”. Ketentuan pemerintah tentang perpajakan membolehkan entitas melakukan penilaian, sehingga revaluasi aset diperkenankan mengikuti revaluasi aset menurut ketentuan perpajakan. Berdasarkan ketentuan PSAK 16 tahun 1994, entitas melakukan penilaian kembali asetnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Biasanya revaluasi aset dilakukan pada saat akan go publik, menambah modal dengan menerbitkan tambahan saham, restrukturisasi, akuisisi atau dalam rangka kuasi reorganisasi. Salah satu tujuan revaluasi adalah agar nilai aset perusahaan menunjukkan kondisi yang sebenarnya, sehingga entitas dapat menjual sahamnya dengan harga yang lebih tinggi, atau memiliki nilai yang tinggi pada saat diakuisisi pihak lain.

Revaluasi Aset Tetap menurut ketentuan PSAK 16 revisi 2007 : Revaluasi merupakan salah satu metode penilaian aset tetap. Jika suatu entitas memilih menggunakan metode revaluasi maka metode ini harus diterapkan secara konsisten oleh perusahaan. Perusahaan tidak boleh hanya menggunakan metode revaluasi sesekali untuk tujuan seperti yang disebutkan di atas, tetapi revaluasi harus dilakukan secara reguler. Penerapan metode revaluasi dilakukan untuk aset tetap dalam kelompok yang sama. Tidak ada penjelasan rinci pengertian kelompok yang sama, namun secara implisit dapat dikatakan jika suatu entitas memiliki aset tetap yang disajikan dalam satu kelompok, maka model penilaian yang digunakan harus sama. Sebagai contoh jika induk menggunakan metode revaluasi maka konsekuensinya anak perusahaan untuk kelompok aset tanah harus menggunakan metode revaluasi. Namun untuk peralatan, apakah dianggap satu kelompok atau dapat menggunakan sub kelompok misal kendaraan, mesin, peralatan kantor, tidak ada pedoman yang mengaturnya. Pada saat melakukan revaluasi, selisih antara nilai tercatat aset dan nilai hasil revaluasi akan dibukukan sebagai surplus revaluasi.
Revaluasi tidak diakui dalam laporan laba rugi tahun berjalan tetapi merupakan komponen dalam laba rugi komprehensif yang merupakan bagian dari ekuitas. Jika sebelum revaluasi entitas telah melakukan penurunan nilai maka, akan dilakukan pembalikan penurunan nilai sebelum diakui sebagai surplus revaluasi. Jika revaluasi menghasilkan nilai yang lebih kecil dari nilai aset tercatat maka penurunan nilai ini, pertama akan mengurangi surplus revaluasi (jika ada), setelah tidak ada lagi baru akan mengurangi saldo laba. Dengan pencatatan seperti itu, maka entitas akan mengakui penurunan nilai (impairment), ketika revaluasi menghasilkan nilai aset lebih kecil dari nilai terbawa (carrying value) dengan menggunakan metode biaya. Surplus revaluasi yang telah disajikan ke saldo laba pada saat aset tersebut dihentikan pengakuan atau disusutkan. Surplus revaluasi akan dipindahkan ke saldo laba selama sisa masa manfaat aset tersebut, jika aset tersebut dihentikan pengakuan pemindahannya dilakukan sekaligus dari sisa surplus revaluasi yang masih ada. Pemindahan dilakukan langsung dengan mendebit surplus revaluasi dan kredit saldo laba tanpa melalui laporan laba rugi.

Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup reguler sehingga nilai tercatat aset tidak berbeda secara signifikan dengan nilai wajarnya. Standar tidak menyebutkan berapa tahun sekali, revaluasi dilakukan tergantung perkembangan nilai wajar aset tetap. Jika harga tidak berubah signifikan mungkin revaluasi dapat dilakukan tiga atau lima tahun sekali, namun jika harga signifkan berubah revaluasi mungkin dilakukan setiap tahun. Nilai wajar adalah nilai di mana suatu aset dapat dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm’s length transaction).
Pajak atas revaluasi menurut PSAK 16 dipertanggungjawabkan mengikuti ketentuan dalam PSAK 46 tentang pajak penghasilan. Atas selisih revaluasi tidak diakui dalam laba rugi tahun berjalan tetapi diakui dalam laba komprehensif, maka konsekuensi pajaknya akan dimasukkan dalam komponen laba komprehensif. Jika pajak atas revaluasi ini tidak dikenakan menurut peraturan perpajakan maka konsekuensi pajaknya akan diakui sebagai aset atau liabiltas pajak tangguhan. Sebagai contoh atas keuntungan revaluasi tanah akan diakui debit beban pajak tangguhan atas surplus revaluasi dan kredit liabilitas pajak tangguhan.

Dasar Hukum Revaluasi Aset Tetap

  1. Undang-undang RI nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
  2. Pasal 4 huruf m : yang menjadi objek pajak penghasilan adalah selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
  3. Pasal 11 ayat (5) : apa

    bila Wajib Pajak melakukan  penilaian kembali aktiva maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
  4. Keputusan Dirjen Pajak KEP-519/PJ/2002 tanggal 2 Desember 2002 tentang Tata Cara Prosedur Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan
  5. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan.
  6. Peraturan Menteri Keuangan nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Perusahan untuk Tujuan Perpajakan

Syarat Revaluasi Aset Tetap

  1. WP badan dalam negeri (PT, CV, BUMN, Koperasi, Yayasan). Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan tidak termasuk WP yang dapat melakukan revaluasi.
  2. Telah memenuhi kewajiban pajak sampai dengan masa pajak terakhir sebelum melakukan revaluasi. Kewajiban pajak tersebut adalah :
    • SPT Masa atau Tahunan, sepanjang belum ada SKP
    • KP, walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum ada keputusan keberatan.
    • Keputusan Keberatan, walaupun WP mengajukan banding dan belum ada putusan Banding dari pengadilan pajak.
    • Keputusan PK dari MA.
    • STP, walaupun WP mengajukan permohonan pengurangan / penghapusan sanksi administrasi atau pembetulan kembali pembetulan STP, tetapi belum mendapatkan keputusan.
  3. Yang dapat dinilai kembali aktiva tetap berwujud yang berada di Indonesia dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan obyek pajak. Aset Tetap SGU dengan hak opsi tidak dapat direvaluasi sebelum menggunakan hak opsi, aktiva tidak berwujud tidak dapat direvaluasi.
  4. Dapat dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap atau sebagian aktiva, dapat dilakukan setiap tahun atau satu kali dalam setahun. Dilakukan oleh perusahaan penilai yang mendapat ijin pemerintah.
  5. Penilaian kembali dilakukan perusahaan penilai atau Penilai yang mendapat ijin dari Pemerintah. Penilaian kembali dihitung atau dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar yang berlaku pada saat penilaian kembali.
  6. Dalam hal nilai revaluasi yang ditetapkan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya maka Direktorat Jendral Pajak dapat menetapkan kembali nilai revaluasi. 
  7. Setelah WP melakukan revaluasi dan sudah mendapat persetujuan dari KPP, kemudian dilakukan pemeriksaan, pemeriksa pajak dapat melakukan koreksi nilai revaluasi, dengan hasil :
    • Nilai revaluasi lebih rendah daripada harga pasar
    • Nilai revaluasi lebih tinggi daripada harga pasar.
  8. Apabila nilai revaluasi lebih tinggi daripada harga pasar maka terdapat Selisih Lebih Revaluasi, yaitu Nilai Pasar ( Nilai Revaluasi ) dikurangi Nilai Buku Fiskal pada awal bulan dilakukan revaluasi dan dikenakan pajak revaluasi sebesar 10 % Final setelah dikurangi / dikompensasi terlebih dulu dengan sisa kerugian fiskal. Kompensasi Rugi Fiskal :
    • Tidak lebih dari 5 tahun.
    • Kalau belum dilakukan pemeriksaan pajak rugi fiskal berdasarkan SPT WP.
    • Sudah ada SKP, berdasarkan SKP meskipun WP mengajukan keberatan.
  9. Bagi WP yang melakukan penggabungan usaha, PPh yang terutang 10% dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5 tahun sejak dilakukan penilaian kembali aktiva tetap. PPh yang harus dilunasi setiap tahun paling sedikit sebesar 20%.

Prosedur Revaluasi Aset Tetap 

  1. Wajib pajak (WP) yang dapat mengajukan permohonan untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah WP Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak termasuk WP yang memperoleh ijin menyelenggarakan pembukuan dengan mata uang asing. 
  2. Syarat-syarat pengajuan permohonan :
    • WP dapat mengajukan permohonan dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
    • Aktiva tetap yang dapat dinilai kembali adalah aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
    • Penelilaian kembali dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku. Dan hanya dapat dilakukan penilaian kembali paling banyak satu (1) kali dalam satu tahun buku.
    • WP yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi KPP tempat WP terdaftar (KPP domisili) paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal dilakukan penilaian kembali aktiva tetap dengan melampirkan :
      • Fotokopi surat ijin usaha jasa penilai yang dilegalisir oleh instansi pemerintah yang berwenang untuk menerbitkan surat ijin usaha tersebut.
      • Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui pemerintah.
      • Daftar Penilaian Kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
      • Laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah diaudit oleh akuntan publik.
      • Surat keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari KPP tempat WP terdaftar.
    • Permohonan WP yang terlambat diajukan atau tidak dilengkapi dengan lampiran sampai dengan batas waktu sebagaimana diatur tidak dapat dipertimbangkan.
    • Apabila permohonan WP menurut hasil penelitian telah memenuhi persyaratan formal dan material, maka Kepala Kantor Wialayah wajib menerbitkan Keputusan persetujuan atau penolakan Direktur Jendral Pajak paling lambat 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan WP.
    • Apabila setelah lewat batas waktu 30 hari kerja Kepala Kantor Wilayah belum menerbitkan Keputusan persetujuan atau penolakan, maka permohonan WP dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah wajib menerbitkan keputusan paling lambat tiga (3) hari setelah tanggal berakhirnya batas waktu tersebut.

Manfaat Revaluasi Aset Tetap

  1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai aktiva dan modal.
  2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai aktiva dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus).
  3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan   perusahaan,   khususnya   yang   ditunjukkan   oleh  debt   to   assets  ratio dan debt to equity ratio.
  4. Penghematan   pajak   yang   terjadi   sebagai   akibat   bertambah   besarnya   nilai penyusutan aktiva, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai   tambah  penyusutan.  Sementara  keuntungan  dari   revaluasi   aktiva  hanya dikenakan pajak final sebesar 10%,

Perencanaan Pajak Terhadap Revaluasi Aset Tetap

Pertimbangan yang harus diperhatikan dalam perencanaan pajak terhadap revaluasi aset tetap antara lain :
  1. Kondisi perusahaan
  2. Laba dan rugi perusahaan
  3. Dampak revaluasi.
  4. Apakah perusahaan mempunyai atau tidak mempunyai rugi fiskal. 

MENGULAS SOSOK KORUPTOR LEGENDARIS "EDDY TANSIL"

Beberapa tahun belakangan ini kasus korupsi semakin marak terjadi di Indonesia. Sebenarnya kasus korupsi sudah terjadi sejak lama. Seperti misalnya Presiden RI yang ke dua, Presiden Soeharto, yang menurut desas desus yang ada telah melakukan korupsi besar-besaran meski tidak ada dokumentasi yang mendukung. Dalam buku "Akuntansi Forensik & Audit Investigasi" karya Theodorus M. Tuanakotta disebutkan bahwa Presiden Soeharto adalah pemimpin politik terkorup di dunia.

Bukan hanya mantan Presiden Soeharto,  tokoh masa lalu yang juga melakukan korupsi gila-gilaan adalah Eddy Tansil. Nama itu begitu melegenda meski belakangan ini mulai meredup. 

Siapa itu Eddy Tansil?




Eddy Tansil adalah terdakwa kasus korupsi kredit macet yang membuat negara mengalami kerugian sebesar 1,3 triliun pada tahun 1996. Eddy Tansil dikenal sebagai pengusaha sukses dan direktur utama Golden Key Group, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang keuangan.Dia juga dikenal sebagai petinggi salah satu bank paling masyur pada tahun 90 an yaitu bank Bapindo.


Bagaimana Awal Mula eddy Tansil Terjerat Kasus Korupsi?


Pada masa itu bisnis Eddy Tansil berjalan lancar sehingga sosoknya dianggap sebagai salah satu pengusaha paling kredibel di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kepercayaan yang diberikan pihak Bank Bapindo kepada eddy Tansil dengan memberi ACC atas pinjaman yang diajukan Eddy Tansil. Pinjaman yang diberikan kepada Eddy Tansil melalui Golden Key Group sebesar $565 juta atau setara dengan 1,5 Triliun Rupiah. Namun bila dikurskan dengan kurs sekarang mungkin setara dengan 10 Triliun Rupiah. 


Pada tahun 1994, cicilan utang mulai tidak lancar. Anggota Komisi VII DPR RI, Ahmad Arnold Baramuli yang pertama kali mempertanyakan kredit macet atas nama Eddy Tansil di Bapindo.  Arnold mengungkapkan bahwa ada yang mencurigakan dari turunnya kredit yang di ajukan Eddy Tansil yang mencapai ratusan juta. Berdasarkan isu yang beredar, pengajuan kredit ini disetujui secara ilegal dengan surat sakti dari Laksamana Sudomo mantan pangkopkamtib yang juga orang dekat Keluarga Cendana.

Eddy Tansil Menghilang?

Tahun 1995, Eddy Tansil divonis bersalah dijatuhkan oleh Pengaddilan Tinggi Jakarta Pusat dengan jatuhan hukuman 20 tahun penjara, denda 30 juta rupiah, membayar uang pengganti sebanyak 500 miliar rupiah dan mengganti kerugian negara 1,3 triliun rupiah. Eddy Tansil menjadi penghuni LP Cipinang di Jakarta Timur. Selama 1,5 tahun Eddy Tansil tercatat 4 kali melangkah keluar secara diam-diam dari penjara, yang dikemudian hari langkahnya diikuti oleh Gayus Tambunan dan Setyo Novanto. Hingga pada tahun 1996, Eddy Tansil berhasil menghilang dari penjara. Diduga ada oknum dari lapas yang membantu Eddy Tansil lolos dari penjara. Ada sebagian lagi percaya bahwa Eddy Tansil berhasil kabur dengan kemampuannya sendiri. Setelah sekian tahun Eddy Tansil menghilang secara misterius, dikabarkan kini Eddy Tansil menetap di kampung halamannya (Tiongkok) beserta anak dan istrinya.

Apakah Sesulit Itu Melacak Keberadaan Eddy Tansil?

Pada dasarnya tidak sulit untuk mencari keberadaan Eddy Tansil, cukup menggunakan mesin pencari lokal dari Tiongkok seperti  Baidu, Shenma dan Sogou lalu mengetikkan nama “Chen Zihuang”, nama Tionghoa Eddy, dan dalam seketika, ratusan info tentangnya akan muncul.

Kenapa Eddy Tansil Tidak Segera Diringkus?

Hal ini diduga Eddy Tansil memiliki bekingan yang tidak main-main. Bekingan dan koneksi yang sangat krusial dalam bisnis dan kekuatannya inilah yang menyebabkan kasus kredit macet di Tiongkok dan Indonesia tidak dapat terselesaikan.


Dari sinilah kita menyadari bahwa korupsi tidak dapat hanya dilakukan oleh seorang diri, butuh orang-orang yang memiliki kekuasaan agar jalan korupsi yang mereka lalui berjalan dengan mulus. Koruptor harus bisa mengakali sistem dengan percaya diri apabali punya koneksi dengan kekuasaan yang kuat.


Sumber :

  1. https://www.boombastis.com/fakta-edi-tansil/63718
  2. https://www.boombastis.com/fakta-edi-tansil/63718
  3. https://news.detik.com/berita/d-4322495/kasus-megakorupsi-era-soeharto-dari-dicky-hingga-eddy-tansil
  4. https://mojok.co/yms/ulasan/pojokan/pencuri-uang-negara-12-triliun-ditemukan-media/











Thursday 26 December 2019

SEJARAH LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Dalam berita akhir-akhir ini, permasalahan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia sedang hangat-hangatnya dibicarakan di masyarakat. Beberapa lembaga didirikan untuk memberantas korupsi walaupun kemudian dibubarkan dan dibentuk lembaga baru.
Lalu bagaimana sejarah lembaga pemberantasan korupsi?

Pada tahun 1959, didirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara atau lebih di kenal dengan Bapekan. Tugas dari Bapekan adalah mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden terkait kegiatan aparatur negara. Lingkup tugasnya meliputi aparat sipil hingga militer dalam badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan dan lembaga negara. Bapekan sendiri diketuai oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Sudirgo. Bapekan berakhir pada tanggal 5 Mei 1962 saat menangai dugaan korupsi pembangunan sarana olahraga untuk Asian Games 1962. Presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak dibutuhkan lagi.

3 tahun sebelum Bapekan dibubarkan (1959), AH Nasution mengusulkan membentukan lembaga untuk membenahi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Maka oleh Presiden Soekarno dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roelan Abdulgani. Salah satu tugas Paran yaitu mendata kekayaan para pejabat negara. Namun dalam menjalankan tugasnya Paran banyak menalami rintangan. Banyak pejabat yang mangkir tidak melaporkan harta kekayaannya. Adapula yang pejabat yang langsung menyerahkan laporan kekayaan kepada presiden dengan dalih mereka adalah bawahana presiden. Alasan mereka membangkang karena dari laporan kekayaan itu paran dapat mengetahui banyaknya korupsi dan salah urus kekayaan. Temuan-temuan tersebut diteruskan ke kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan. Tahun 1962 Paran semaikin terkucil saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan Angkatan darat digantikan oleh Ahmad Yani.

Sebagai respon terhadap rodiogram KSAD AH Nasution tentang perintah kepada kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie membentuk Panitia Pelaksanaan Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Menengah dengan nama Operasi Budhi. Operasi Budhi juga menjawab tuduhan korupsi PKI yag ditujukan kepada para perwira Siliwangi. Operasi Budhi berhasil melaksanakan tugasnya, sehingga Operasi Budhi diambil oleh Ah Nasution dan dijadikan program nasional oleh Paran, yang  kali itu sedang deadblock. Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan dengan membentuk Operasi Budhi. AH Nasution sebagai pemimpinnya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo. 

Suatu hal tak terduga terjadi ketika Operasi Budhi akan memeriksa Pertamina, dimana Direktur Utama Ibnu Sutowo dan para anggota direksi menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum dilengkapi surat tugas. Selain itu, Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau perwira yang berlindung diawah kekuasaan Soekarno. Mereka membisikkan bahwa AH Nasution dengan Operasi Budhi sedang menggalang kekuatan untuk melawan presiden. Hingga pada akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 964.

Sebagai gantinya, Presiden Soekarno membentuk Komandan Tertinggi Retoolig Aparatur (Kotrar) dengan Soebandrio sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf. Namun Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Soekarno. Hal ini disebabkan Kotrar tidak berjalan sesuai dengan tujuannya, Kottrar justru dijadikan kendaraan politik Soebandrio.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Ketua timnya adalah Jaksa Agung Sugih Arto dengan anggota berasal dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain. Kasus terbesar yang ditanggani oleh TPK adalah kasus korupsi pertamina yang melibatkan top manajemen pertamina. Intervensi kekuasaan pembuat TPK gagal. Hingga 3 tahun berjalan, penyelidikan terhadap perusahaan-persahaan negara yang diduga menjadi sarang koruptor tidak dapat dituntaskan. 

Masyarakat pu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Mahasiswa mulai turun kejalan untuk berdemonstrasi. Hingga pada tanggal 31 Januari 1970, Presiden Soeharto membubarkan TPK dan membentuk Komisi Empat. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua.  Tiga tokoh senior yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo (Partai Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya. Mayoritas kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina.

Pemuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah urus. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.

Pada Tahun 1970 dibentuk Komisi Anti Korupsi yang anggotanya terdiri dari apar aktifis mahasiswa angkatan 66 seperti Akbar Tanjung, Asmara Nababan, dan sjahrir. Namun komisi ini dibubarkan dua bulan berikutnya pada tanggal 15 Agustus 1970.

Presiden mengeluarkan instruksi No. 9 Tahun 1977 berupa pembentukan Tim Operasi Ketertiban (Opstib). Koordinator ti ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur  Negara, sedangkan pelaksanaan operasionalnya adalah Pangkopkamti. Sebagai ketua I adalah Kapolri, sedangkan Ketua II adalah Jaksa Agung dengan Para Dirjen di setiap Departemen.

Presiden Soeharto menghidupkan kembali aktivitas Tim Pemberantasan Korupsi dengan mengganti personilnya. Pelaksana dari tim ini terdiri dari Menpan JB. Sumarlin, Pengkopkamtib Sudomo, Keua MA Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloedin Djamin.

Meski singkat, pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan korupsi dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara. KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara. Dinahkodai Jusuf Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang profesi. Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira militer.

Untuk menyiasati kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau belum melaporkan kekayaannya. Meski sempat tak jelas nasibnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN akhirnya melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.

Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No. 19/2000. Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di luar Indonesia. Namun, legalitas tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan lembaga tersebut.

Lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi awal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diawal pembentukannya, KPK beranggotakan Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas dan  Tumpak Hatorang. KPK memiliki wewenang penuh dalam pemberantasan korupsi dimulai dari wewenang pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penindakan, monitoring hingga adanya pengadilan Tipikor yang dipimpin oleh Hakim Tipikor.

Selain itu Lembaga ini juga memiliki kewenangan untuk menyadap dan merekam hal-hal yang berhubungan dengan Tipikor tanpa seizin pengadilan. Terdapat pro-kontra terhadap keberadaan lembaga ini, diantaranya adanya pendapat yang mengatakan bahwa lembaga ini adalah lembaga Ad Hoc yaitu lembaga sementara yang berdiri untuk memberantas korupsi menggantikan peran Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga KPK bisa saja dibubarkan sewaktu-waktu.

Namun ada pula yang menyatakan bahwa ad hoc bukan lah “Sementara”, namun lembaga yang memiliki peran “Khusus” pemberantasan korupsi. Berdasarkan data ACCH, Per 30 Juni 2017,total penanganan perkara tindak pidana korupsi yang diaukan oleh KPK dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.

Lahirnya Keppres Nomor 11 Tahun 2005, menjadi dasar pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim memiliki tugas dan wewenang yang hampir sama dengan KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi dan mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Tim ini berjalan kurang efektif, selama periode pembentukan hingga pembubarannya belum tampak hasil yang signifikan. Tipikor resmi dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2007.