Thursday 26 December 2019

SEJARAH LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Dalam berita akhir-akhir ini, permasalahan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia sedang hangat-hangatnya dibicarakan di masyarakat. Beberapa lembaga didirikan untuk memberantas korupsi walaupun kemudian dibubarkan dan dibentuk lembaga baru.
Lalu bagaimana sejarah lembaga pemberantasan korupsi?

Pada tahun 1959, didirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara atau lebih di kenal dengan Bapekan. Tugas dari Bapekan adalah mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden terkait kegiatan aparatur negara. Lingkup tugasnya meliputi aparat sipil hingga militer dalam badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan dan lembaga negara. Bapekan sendiri diketuai oleh Sultan Hamengku Buwono IX dengan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Sudirgo. Bapekan berakhir pada tanggal 5 Mei 1962 saat menangai dugaan korupsi pembangunan sarana olahraga untuk Asian Games 1962. Presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak dibutuhkan lagi.

3 tahun sebelum Bapekan dibubarkan (1959), AH Nasution mengusulkan membentukan lembaga untuk membenahi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Maka oleh Presiden Soekarno dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Paran dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roelan Abdulgani. Salah satu tugas Paran yaitu mendata kekayaan para pejabat negara. Namun dalam menjalankan tugasnya Paran banyak menalami rintangan. Banyak pejabat yang mangkir tidak melaporkan harta kekayaannya. Adapula yang pejabat yang langsung menyerahkan laporan kekayaan kepada presiden dengan dalih mereka adalah bawahana presiden. Alasan mereka membangkang karena dari laporan kekayaan itu paran dapat mengetahui banyaknya korupsi dan salah urus kekayaan. Temuan-temuan tersebut diteruskan ke kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan. Tahun 1962 Paran semaikin terkucil saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan Angkatan darat digantikan oleh Ahmad Yani.

Sebagai respon terhadap rodiogram KSAD AH Nasution tentang perintah kepada kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie membentuk Panitia Pelaksanaan Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Menengah dengan nama Operasi Budhi. Operasi Budhi juga menjawab tuduhan korupsi PKI yag ditujukan kepada para perwira Siliwangi. Operasi Budhi berhasil melaksanakan tugasnya, sehingga Operasi Budhi diambil oleh Ah Nasution dan dijadikan program nasional oleh Paran, yang  kali itu sedang deadblock. Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan dengan membentuk Operasi Budhi. AH Nasution sebagai pemimpinnya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo. 

Suatu hal tak terduga terjadi ketika Operasi Budhi akan memeriksa Pertamina, dimana Direktur Utama Ibnu Sutowo dan para anggota direksi menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum dilengkapi surat tugas. Selain itu, Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau perwira yang berlindung diawah kekuasaan Soekarno. Mereka membisikkan bahwa AH Nasution dengan Operasi Budhi sedang menggalang kekuatan untuk melawan presiden. Hingga pada akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 964.

Sebagai gantinya, Presiden Soekarno membentuk Komandan Tertinggi Retoolig Aparatur (Kotrar) dengan Soebandrio sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf. Namun Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Soekarno. Hal ini disebabkan Kotrar tidak berjalan sesuai dengan tujuannya, Kottrar justru dijadikan kendaraan politik Soebandrio.

Selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Ketua timnya adalah Jaksa Agung Sugih Arto dengan anggota berasal dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain. Kasus terbesar yang ditanggani oleh TPK adalah kasus korupsi pertamina yang melibatkan top manajemen pertamina. Intervensi kekuasaan pembuat TPK gagal. Hingga 3 tahun berjalan, penyelidikan terhadap perusahaan-persahaan negara yang diduga menjadi sarang koruptor tidak dapat dituntaskan. 

Masyarakat pu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Mahasiswa mulai turun kejalan untuk berdemonstrasi. Hingga pada tanggal 31 Januari 1970, Presiden Soeharto membubarkan TPK dan membentuk Komisi Empat. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua.  Tiga tokoh senior yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo (Partai Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya. Mayoritas kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina.

Pemuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah urus. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.

Pada Tahun 1970 dibentuk Komisi Anti Korupsi yang anggotanya terdiri dari apar aktifis mahasiswa angkatan 66 seperti Akbar Tanjung, Asmara Nababan, dan sjahrir. Namun komisi ini dibubarkan dua bulan berikutnya pada tanggal 15 Agustus 1970.

Presiden mengeluarkan instruksi No. 9 Tahun 1977 berupa pembentukan Tim Operasi Ketertiban (Opstib). Koordinator ti ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur  Negara, sedangkan pelaksanaan operasionalnya adalah Pangkopkamti. Sebagai ketua I adalah Kapolri, sedangkan Ketua II adalah Jaksa Agung dengan Para Dirjen di setiap Departemen.

Presiden Soeharto menghidupkan kembali aktivitas Tim Pemberantasan Korupsi dengan mengganti personilnya. Pelaksana dari tim ini terdiri dari Menpan JB. Sumarlin, Pengkopkamtib Sudomo, Keua MA Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh, dan Kapolri Awaloedin Djamin.

Meski singkat, pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan korupsi dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara. KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara. Dinahkodai Jusuf Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang profesi. Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira militer.

Untuk menyiasati kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau belum melaporkan kekayaannya. Meski sempat tak jelas nasibnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN akhirnya melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.

Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No. 19/2000. Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di luar Indonesia. Namun, legalitas tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan lembaga tersebut.

Lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi awal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diawal pembentukannya, KPK beranggotakan Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas dan  Tumpak Hatorang. KPK memiliki wewenang penuh dalam pemberantasan korupsi dimulai dari wewenang pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penindakan, monitoring hingga adanya pengadilan Tipikor yang dipimpin oleh Hakim Tipikor.

Selain itu Lembaga ini juga memiliki kewenangan untuk menyadap dan merekam hal-hal yang berhubungan dengan Tipikor tanpa seizin pengadilan. Terdapat pro-kontra terhadap keberadaan lembaga ini, diantaranya adanya pendapat yang mengatakan bahwa lembaga ini adalah lembaga Ad Hoc yaitu lembaga sementara yang berdiri untuk memberantas korupsi menggantikan peran Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga KPK bisa saja dibubarkan sewaktu-waktu.

Namun ada pula yang menyatakan bahwa ad hoc bukan lah “Sementara”, namun lembaga yang memiliki peran “Khusus” pemberantasan korupsi. Berdasarkan data ACCH, Per 30 Juni 2017,total penanganan perkara tindak pidana korupsi yang diaukan oleh KPK dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.

Lahirnya Keppres Nomor 11 Tahun 2005, menjadi dasar pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim memiliki tugas dan wewenang yang hampir sama dengan KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi dan mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal. Tim ini berjalan kurang efektif, selama periode pembentukan hingga pembubarannya belum tampak hasil yang signifikan. Tipikor resmi dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2007.

No comments:

Post a Comment