Tuesday, 21 August 2018

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Hasil gambar untuk perhitungan BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Pengertian

  • Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 
  • Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribaddi atau badan.
  • Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketenuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dasar Hukum BPHTB

Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah UU No.20/2000 (UU No.21/1997 rev). Kemudian pajak ini masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006,
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan PMK Nomor 14/PMK.03/2009.

Subjek BPHTB

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib membayar BPHTB yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

Objek BPHTB 

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan perolehannya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Perolehan hak pada dasarnya ada dua, yaitu :

a. Pemindahan hak, karena :
  1. Jual beli
  2. Tukar menukar
  3. Hibah
  4. Hibah wasiat
  5. Waris
  6. Pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
  8. Penunjukan pembelian dalam lelang
  9. Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap penggabungan usaha
  10. Peleburan usaha
  11. Pemekaran usaha
  12. Hadiah
b. Perolehan hak baru, terjadi karena :
  1. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
  2. Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bukan Objek BPHTB

  1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
  2. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Yaitu tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah baik Pemerintah Pusa maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditunjukan untuk mencari keuntungan, misalnya : tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instalasi pemerintah , rumah sakit, dan jalan umum.
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
  4. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
  5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf. Yaitu perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan bangunan dan untuk melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
  6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Jenis-Jenis Hak Atas Tanah

Diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) :
  • Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
  • Hak guna usaha , yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku,
  • Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,
  • Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain sesuai dengan perjanjian, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Diatur dalam Undang-Undang Rumah Susun (UU N0. 16 Tahun 1985) :
  • Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat bagian bersama benda bersama, tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan  yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 :
  • Hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Dasar Pengenaan BPTHB 

Sesuai dengan pasal 5 UU BPHTB, tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini di maksudkan untuk keserhanaan kemudahan penghitungan. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu :
  1. Jual Beli adalah harga transaksi
  2. Tukar Menukar adalah nilai pasar
  3. Hibah adalah nilai pasar
  4. Hibah Wasiat adalah nilai pasar
  5. Waris adalah nilai pasar
  6. Pemasukan dalam perseroan atau Badan Hukum lainnya adalah nilai pasar
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar
  8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum adalah nilai pasar
  9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar
  10. Pemberian hak baru atas tanah dalam pelepasan hak adalah nilai pasar
  11. Penggabungan Usaha adalah nilai pasar
  12. Peleburan Usaha adalah nilai pasar
  13. Pemekaran Usaha adalah nilai pasar
  14. Hadiah adalah nilai pasar
  15. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahn terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Mentri Keuangan.

Pengenaan BPHTB

Ada beberapa kondisi dimana seorang wajib pajak harus dikenakan BPHTB diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat BPHTB yang terutama atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
  2. Pengenaan BPHTB karena pemberian Hal Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut :
  • 0% (Nol Persen) dan BPHTB yang seharusnya terhutang dalam hal penerimaan Hak Pengelolaan adalah Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintahan Nasional (Perum Perumnas) 
  • 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerimaan Hak Pengelolaan selain dimaksudkan di atas.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Ditetapkan Secara Regional Paling Banyak

Berikut ini adalah beberapa perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) yang dapat mengurangi NPOP suatu objek pajak tertentu sebagai berikut :
  1. Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana.
  2. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk memperkuat penjaminan kredit bagi usaha mikro dan kecil.
  3. Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadiyang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.
  4. Paling banyak Rp. 60.000.000n (enam puluh juta rupiah) dalam hal selain yang disebutkan di atas.

Tarif BPHTB

Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Rumus Menghitungan BPHTB

Perhitungan BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Pengurangan BPHTB

Dalam peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006, Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terhutang, dalam hal :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah  Susun Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana (RSH) serta Rumah Susun Sangat Sederhana (RSS) yang yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran. Atas permohonan Wajib Pajak, dapat dikenakan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atu Bangunan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang
  2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu serajat ke atas atau satu derajat ke bawah
  4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari ganti rugi Pemerintah yg nilai ganti ruginya dibawah Nilai jual Objek Pajak
  5. Wajip Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah di bebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum
  6. Wajib Pajak yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dengan atau tanpa terlebih dahulu megadakan Likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jendral Pajak
  7. Wajib Pajak memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya
  8. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Ke[utusan Mentri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
  9. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayan sosial masyarakat

Saat dan Tempat Pajak Terutang

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
  1. Jual beli adalah sejak tanggal di buat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah/Notaris
  2. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  4. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
  5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  7. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemegang lelang
  8. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilanyang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
  9. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kanto Pertanahan
  10. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
  11. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  12. Peleburan usaha adlah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  13. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan dtandatanganinya akta
  14. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
Tempat BPHTB terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Provinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Uaha Milik Negara atau tempat pembayaran lain yang di tunjuk oleh Mentri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Peroleha Hak atas Tanah atau Bangunan (SSB). Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota
  2. 16% (enam belas persen) untuk profinsi dan
  3. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota.


No comments:

Post a Comment