Wednesday, 29 August 2018

SURAT KETETAPAN PAJAK LEBIH BAYAR (SKPLB)

Pengertian Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang

Fungsi Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

Sebagai sarana atau alat untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak yanag telah dilakukan oleh Wajib Pajak.

Dasar-Dasar atau Sebab-Sebab Diterbitkannya SKPLB

Menurut Pasal 17 ayat (1) UU KUP, diterbitkan untuk :
  1. Untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
  2. Untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah pajak keluaran setelah dikurangi pajak yang dipungut oleh pemungut Pajak Pertambahan Nilai
  3. Untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yanag tidaka seharusnya terutang.

Tata Cara Penerbitan SKPLB

1. Terjadi kelebihan pembayaran pajak setelah dilakukan pemeriksaan terhadap SPT tanpa adanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), dengan ketentuan:
  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan Kurang Bayar, Nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan restitusi).
  • Apabila Wajib Pajak setelah menerima SKPLB dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), akan mengajukan permohonan secara tertulis.
2. Atas Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang sesuai dengan perhitungan yang terdapat di dalam SPT yang disampaikan wajib pajak, dengan ketentuan :

  • Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonapengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, sebagaimana dimaksud didalam Pasal 17C UU No. 16 Tahun 2000, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Catatan :
Kegiatan tertentu yaitu ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jangka waktu tersebut dapat dipersingkat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri.
  • Apabila setelah lewat jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir
  • Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkandalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf b, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf b sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Catatan :
SKPLB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang ditetapkan

Tata Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak 

1. Kelebihan pembayaran pajak adalah :

  • Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
  • Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang diterbitkan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengambilan kelebihan pembayaran pajak  dari wajib pajak tertentu.
  • Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
  • Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
  • Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagianatauseluruh permohonan Wajib Pajak.
2. Kelebihan pembayaran pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak, baik di pusat maupun cabang-cabangnya.
3. Atas dasar persetujuan Wajib Pajak yang berhak atas kelebihan pembayaran pajak, kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain.
4. Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1  bulan sejak:

  • Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a diterima.
  • Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b diterbitkan.
  • Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak   sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c diterbitkan.
  • Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d.
  • Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf e diterbitkan.
  • Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).

Contoh Kasus Imbalan Bunga Berkaitan Dengan Keterlambatan Penerbitan SKPLB

PT Study With Me telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tahun 2016 pada tanggal 27 Maret 2017 yang menyatakan lebih bayar sebesar Rp 100.000.000,-. Setelah diadakan pemeriksaan ternyata sampai dengan batas 12 bualn ( tanggal 26 Maret 2018) belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. Atas keterlambatan ini pemohon Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB sebesar Rp 100.000.000,- (sama dengan SPT Wajib Pajak) diterbitkan pada tanggal  2 Mei 2018 yang seharusnya paling lambat tanggal 26 April 2018.
Perhitungan imbalan bunga adalah sebagai berikut :
⇨Dasar peerhitungan imbalan bunga Rp 100.000.000,- 
⇨Jumlah nulan dihitung sejak tanggal 27 April 2018 sampai dengan tanggal 2 Mei 2018 adalah 1 bulan.
⇨Besarnya imbalan bunga yang diberikan ke ppada PT Study With Me adalah  
2%x1xRp 100.000.000,- = Rp 2.000.000,-
Catatan
Dalam hal ini SPMKP juga terlambat (lebih dari 1 bulan sejak tanggal SKPLB) maka atas keterlambatan penerbitan SPMKP ini juga diberikan imbalan bunga.

Thursday, 23 August 2018

SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR (SKPKB)

Pengertian Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal I ayat (16), SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Fungsi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

  1. Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya.
  2. Sarana untuk mengenai sanksi.
  3. Alat untuk menagih.

Dasar atau Sebab-Sebab Diterbitkannya SKPKB


Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 13 ayat (1) diterbitkan apabila :
  1. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang,
  2. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah  ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran,
  3. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen),
  4. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang atau,
  5. Kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

Sanksi Berkenaan dengan SKPKB

  1. Apabila SKPKB diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar (angka 1 pada dasar/sebab terbitnya SKPKB), maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
  2. Apabila SKPKB diterbitkan berdasarkan angka 2, 3 dan 4 (pada dasar/sebab diterbitkan SKPKB), maka jumlah pajak dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
  • 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak.
  • 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong ataundipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan.   
  • 100% dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar

Jangka Waktu Penerbitan SKPKB

  1. Dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak.
  2. Setelah lewat jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
SKPKB tetap dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Contoh Kasus :
Seorang Wajib Pajak penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan SPT Tahunan PPh untuk tahun 2014 tepat pada waktunya yang disertai setoran akhir. Pada bulan April 2016 dikeluarkan SKPKB yang menunjukkan kekurangan pajak yang terutang sebesar Rp 3.000.000,-. Berdasarkan keteentuan diatas maka atas kekurangan tersebut dikenakan sanksi 2% per bulan.
Walaupun SKPKB diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya tahun pajak sanksi bunga yang dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 tahun dengan perhitungan sebagai berikut :

Kekurangan pajak terutang    3.000.000
Bunga 2 tahun=2%x2x12xRp 3.000.000,-   1.440.000  + 
Masih harus dibayar   4.440.000

Seandainya Surat Ketetapan Pajak tersebut dikeluarkan pada bulan Juli 2016 maka perhitungannya sebagai berikut :

Kekurangan pajak terutang    3.000.000
Bunga 18 Bulan=2%x18xRp 3.000.000,-   1.080.000  + 
Masih harus dibayar   4.080.000

Contoh Form SKPKB


SURAT KETETAPAN PAJAK

Surat Ketetapan Pajak adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut.
Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan oleh Kantor Pajak apabila :
  1. Wajib Pajak salah dalam mengisikan SPT
  2. Ada data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak, sehingga menyebabkan kesalahan pada laporan. 
Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat timbul karena :

  1. Pemerikasaan pajak secara khusus
  2. Penelitian dokumen secara reguler oleh petugas pajak.
Fungsi Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Terdapat beberapa fungsi Surat Ketetapan Pajak, yaitu :
  1. Sarana untuk melaksanakan koreksi fiskal terhadap wajib pajak tertentu secara nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
  2. Sarana mengenai sanksi administrasi perpajakan.
  3. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
  4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
  5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
Jenis-Jenis Ketetapan Pajak

  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) (Klik untuk tahu lebih lanjut tentang SKPKB)
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)(Klik untuk tahu lebih lanjut tentang SKPKBT)
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)(Klik untuk tahu lebih lanjut tentang SKPLB)
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). (Klik untuk tahu lebih lanjut tentang SKPN)
  5. Surat Tagihan Pajak (STP). (Klik untuk tahu lebih lanjut tentang STP)
Kadaluwarsa Penetapan Pajak

Kadaluwarsa penetapan pajak ditentukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak akhir Masa Pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Pembetulan Ketetapan Pajak
Apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan wajib pajak, dapat dibetulkan oleh Direktor Jendral Pajak secara jabatan atau permohonan Wajib Pajak.
Pembetulan ketetapan pajak terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari :
a. Kesalahan tertulis
Kesalahan tertulis dapat berupa penulisan nama, alamat, NPWP, nomor Surat Ketetapan Pajak,jenis pajak, masa atau tahun pajak.
b. Kesalahan hitung 
Kesalahan hitung berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian.
c. Kekeliruan dalam penerapan tarif
Berupa pnerapan presentase Norma Perhitungan Penghasilan Netto, penerapan sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena Pajak, perhitungan PPh dalam tahun berjalan dan pengkreditan pajak.
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan atau bukan karena kesalahan WP.
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi ketentuan:
  1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan;
  2. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak yang mengenakan sanksi administrasi tersebut;
  3. Tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT, kecuali apabila WP dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya;
  4. Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP; suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.
Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan:
  1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu surat ketetapan pajak;
  2. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terhutang.

Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima.
Untuk keperluan pengajuan permohonan, WP dapat meminta penjelasan/keterangan tambahan, dan Kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan. (Catatan: WP harus tetap memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan di atas). WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas permohonan diterbitkan. Perlu diperhatikan bahwa pengajuan permohonan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Wednesday, 22 August 2018

HUBUNGAN ISTIMEWA DAN TRANSFER PRICING

Gambar terkait

HUBUNGAN ISTIMEWA

Pada dasarnya, nilai transaksi ditentukan berdasarkan proses tawar menawar dan negosiasi antara masing-masing pihak untuk mencapai keuntungan maksimal. Harga yang terjadi adalah harga pasar yang wajar. Namun dapat juga terjadi nilai transaksi menjadi tidak wajar jika di antara pihak-pihak yang bertransaksi terdapat hubungan istimewa. Salah satu motif terjadinya harga tidak wajar ini adalah untuk meminimalkan jumlah yang harus dibayar. Hal ini biasa dilakukan dengan cara mematok harga di atas atau di bawah harga wajar.

Pengertian Hubungan Istimewa

Hubungan istemewa adalah hubungan yang terjadi antara dua Wajib Pajak atau lebih yang menyebabkan Pajak Penghasilan yang terutang  diantara Wajib Pajak tersebut menjadi lebih kecil daripada yang seharusnya terutang. 
Menurut PSAK 7:
“Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”

Berdasarkan pasal 18 ayat (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada apabila :

1. Hubungan Kepemilikan atau Penyertaan Modal
  • Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsug atu tidak langung paling rendah 25% pada wajib pajak lain,
  • Hubungan anatar wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua wajib pajak atau lebih , atau
  • Hubungan diantara dua wajib pajak atau lebih yang di sebut terakhir.
Contoh :  
PT. A mempunyai 50% kepemilikan saham PT. B; dan PT B memunyai kepemilikan 50 % saham PT C; PT A juga memilki 50 % saham PT D; Antara PT A dan PT B terdapat hubungan istimewa, begitu pula PT B dan PT C. PT A dan PT C mempunyai hubungan istimewa ,karena PT A memiliki PT C secara tidak langsung . Kemudian antara PT D dengan PT A, PT B dan PT C juga terdapat hubungan istimewa.
2. Hubungan Pengusaha melalui manajemn atau penggunaan teknologi
Hubungan istimewa karena penguasaan terjadi jika wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua/lebih wajib pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
3. Hubungan Keluarga
Hubungan keluarga sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat.

TRANSFER PRICING

Pengertian Transfer Pricing

Transfer Pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi yang dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Intra-Company Transfer Pricing
Transfer pricing antar divisi dalam satu perusahaan.
2. Inter-Company Transfer Pricing
Transfer pricing antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Inter-Company treansfer pricing dibagi menjadi dua, yaitu : 
  • International Transfer Pricing, dapat menimbulkan permasalahna apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Perusahaan-perusahaan yang berbeda negara dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa sehingga perusahaan yang berada pada negara dengan tarif pajak rendah mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya, sedangkan perusahaan yang berada pada negara dengan tarif pajak lebih tinggi mendapatkan keunnntungan serendah-rendahnya atau bahkan rugi.
  • Domestic Transfer Pricing, dapat juga digunakan untuk penghindaran pajak, meskipun dalam jumlahyang tidak signifikan, dengan cara enetapkan harga transfer sedemikian rupa sehingga Penghasilan Kena Pajak tersebar merata pada setiap perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi, hal lain yang sering dilakukan yaitu mengalihkan laba kepada perusahaan yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.

Transfer Pricing Rules

Untuk mencegah penghindaran pajak melalui transfer pricing ini, OECD merekomendasikan agar negara-negara mengadopsi transfer rules: yaitu memberikan kewenangan kepada Negara untuk mendistribusikan, membagikan atau mengalokasikan gross income, pengurang penghasilan, credits atau allowances atau item lain yang mempengaruh Penghasilan Kena Pajak di antara WP yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut.

Tujuan Transfer Pricing

Untuk menempatkan WP-WP yang mempunyai hubungan istemewa menjadi WP yang independent sehingga harga-harga yang digunakan diantara WP-WP tersebut dapat dipastikan kewajarannya (arm’s length).


Tuesday, 21 August 2018

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Hasil gambar untuk perhitungan BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Pengertian

  • Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 
  • Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribaddi atau badan.
  • Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketenuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dasar Hukum BPHTB

Dasar hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah UU No.20/2000 (UU No.21/1997 rev). Kemudian pajak ini masuk dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93. Peraturan terkait lainnya antara lain:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006,
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan PMK Nomor 14/PMK.03/2009.

Subjek BPHTB

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib membayar BPHTB yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

Objek BPHTB 

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan perolehannya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Perolehan hak pada dasarnya ada dua, yaitu :

a. Pemindahan hak, karena :
  1. Jual beli
  2. Tukar menukar
  3. Hibah
  4. Hibah wasiat
  5. Waris
  6. Pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
  8. Penunjukan pembelian dalam lelang
  9. Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap penggabungan usaha
  10. Peleburan usaha
  11. Pemekaran usaha
  12. Hadiah
b. Perolehan hak baru, terjadi karena :
  1. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
  2. Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bukan Objek BPHTB

  1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
  2. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Yaitu tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah baik Pemerintah Pusa maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditunjukan untuk mencari keuntungan, misalnya : tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instalasi pemerintah , rumah sakit, dan jalan umum.
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
  4. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
  5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf. Yaitu perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan bangunan dan untuk melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
  6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Jenis-Jenis Hak Atas Tanah

Diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) :
  • Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.
  • Hak guna usaha , yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku,
  • Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,
  • Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain sesuai dengan perjanjian, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Diatur dalam Undang-Undang Rumah Susun (UU N0. 16 Tahun 1985) :
  • Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat bagian bersama benda bersama, tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan  yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 :
  • Hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Dasar Pengenaan BPTHB 

Sesuai dengan pasal 5 UU BPHTB, tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini di maksudkan untuk keserhanaan kemudahan penghitungan. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu :
  1. Jual Beli adalah harga transaksi
  2. Tukar Menukar adalah nilai pasar
  3. Hibah adalah nilai pasar
  4. Hibah Wasiat adalah nilai pasar
  5. Waris adalah nilai pasar
  6. Pemasukan dalam perseroan atau Badan Hukum lainnya adalah nilai pasar
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar
  8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum adalah nilai pasar
  9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar
  10. Pemberian hak baru atas tanah dalam pelepasan hak adalah nilai pasar
  11. Penggabungan Usaha adalah nilai pasar
  12. Peleburan Usaha adalah nilai pasar
  13. Pemekaran Usaha adalah nilai pasar
  14. Hadiah adalah nilai pasar
  15. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahn terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Mentri Keuangan.

Pengenaan BPHTB

Ada beberapa kondisi dimana seorang wajib pajak harus dikenakan BPHTB diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat BPHTB yang terutama atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
  2. Pengenaan BPHTB karena pemberian Hal Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut :
  • 0% (Nol Persen) dan BPHTB yang seharusnya terhutang dalam hal penerimaan Hak Pengelolaan adalah Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintahan Nasional (Perum Perumnas) 
  • 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerimaan Hak Pengelolaan selain dimaksudkan di atas.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Ditetapkan Secara Regional Paling Banyak

Berikut ini adalah beberapa perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP) yang dapat mengurangi NPOP suatu objek pajak tertentu sebagai berikut :
  1. Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana.
  2. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk memperkuat penjaminan kredit bagi usaha mikro dan kecil.
  3. Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadiyang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.
  4. Paling banyak Rp. 60.000.000n (enam puluh juta rupiah) dalam hal selain yang disebutkan di atas.

Tarif BPHTB

Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Rumus Menghitungan BPHTB

Perhitungan BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Pengurangan BPHTB

Dalam peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006, Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang terhutang, dalam hal :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah  Susun Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana (RSH) serta Rumah Susun Sangat Sederhana (RSS) yang yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran. Atas permohonan Wajib Pajak, dapat dikenakan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atu Bangunan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang
  2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu serajat ke atas atau satu derajat ke bawah
  4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari ganti rugi Pemerintah yg nilai ganti ruginya dibawah Nilai jual Objek Pajak
  5. Wajip Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah di bebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum
  6. Wajib Pajak yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha dengan atau tanpa terlebih dahulu megadakan Likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jendral Pajak
  7. Wajib Pajak memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya
  8. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Ke[utusan Mentri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
  9. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayan sosial masyarakat

Saat dan Tempat Pajak Terutang

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
  1. Jual beli adalah sejak tanggal di buat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah/Notaris
  2. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  4. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
  5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  7. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemegang lelang
  8. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilanyang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
  9. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kanto Pertanahan
  10. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
  11. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  12. Peleburan usaha adlah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
  13. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan dtandatanganinya akta
  14. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
Tempat BPHTB terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Provinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Uaha Milik Negara atau tempat pembayaran lain yang di tunjuk oleh Mentri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Peroleha Hak atas Tanah atau Bangunan (SSB). Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota
  2. 16% (enam belas persen) untuk profinsi dan
  3. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota.


Sunday, 19 August 2018

TARIF TERBARU PPh FINAL UMKM

Perpajak di Indonesia sampai saat ini masih menjadi permasalahan tersendiri. Meski pemerintah telah mendorong masyarakat untuk membayar pajak namun banyak masyarakat yang enggan untuk membayarnya. Salah satu sebabnya adalah tarif pajak yang tinggi sehingga nominal pajak yang dibayar terlalu besar. Terutama untuk UMKM, pembayaran pajak yg cukup besar memberat pagi para pelaku UMKM.

Untuk itu, pemerintah melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagai gantinya pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah baru yaitu PP Nomor 23 Tahun 2018 yang mulai berlaku per 1 Juli 2018. Dimana yang menjadi poin dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 adalah turunnya tarif PPh Final dari 1% menjadi 0,5%.

Tujuan Penurunan Tarif Pajak UMKM
  1. Untuk mendorong peran masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal.
  2. Memberi kemudahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
  3. Lebih memberikan keadilan bagi UMKM.
  4. Memberi kesempatan berkontribusi bagi negara.
Manfaat Penetapan PPh Final UMKM 0,5%
  1. Mengurangi beban pajak para pelaku UMKM sehingga sisa hasil usaha dengan adanya penurunan pembayaran pajak dapat digunakan perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha atau investasi.
  2. Memicu masyarakat luas untuk terjun ke dunia usaha tanpa perlu khawatir atau terbebani oleh tarif pajak.
  3. Mendorong ketaaan perpajakan sehingga menguatkan basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak sehingga pelaku UMKM semakin berperan dalam menggerakkan roda ekonomi untuk memperkuat ekonomi formal.
  4. Para pelaku UMKM dapat memiliki kesempatan lebih besar dalam memperoleh akses terhadap dukungan finansial.
  5. Pelaku UMKM dapar belajar penyusunan pembukua. Meskipun hal ini mungkin dirasa cukup memberatkan karena selama ini UMKM hanya mempunyai catatan keuangan sederhana, namun diharapkan ke depannya UMKM mampu menyusun pembukuan tanpa menyewa akuntan.
Tarif PPh Final 0,5% Bersifat Opsional

Pemerintah telah memutuskan untuk meringankan tarif PPh Final menjadi 0,5%. Namun, ketentuan ini bersifat opsional karena wajib pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif dengan skema final 0,5%, atau menggunakan skema normal yang mengacu pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Sifat opsional ini memberi keuntungan bagi wajib pajak karena: 
  1. Bagi wajib pajak (WP) pribadi dan badan yang belum dapat menyelenggarakan pembukuan dengan tertib, penerapan PPh Final 0,5% memberikan kemudahan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Sebab, perhitungan pajak menjadi sederhana yakni 0,5% dari peredaran bruto/omzet. Namun, penerapan PPh Final memiliki konsekuensi yakni WP tetap harus membayar pajak meski sedang dalam keadaan rugi. 
  2. Sementara, WP badan yang telah melakukan pembukuan dengan baik dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif normal yang diatur pasal 17 UU No. 36 tentang Pajak Penghasilan. Konsekuensinya, perhitungan tarif PPh akan mengacu pada lapisan penghasilan kena pajak. Selain itu, WP juga terbebas dari PPh bila mengalami kerugian fiskal.
Batas waktu pengenaan Tarif PPh Final 0,5%
Berbeda dari PP NO. 46 Tahun 2013, pada PP No. 23 Tahun 2018 mempunyai batas waktu pengenaan tarif PPh Final 0,5%. Batasan waktu yang diberikan pemerintah bagi WP yang ingin memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% adalah:
  1. WP orang pribadi batas waktu pengenaan 7 tahun.
  2. WP badan berbentuk koperasi, cv atau firma batas waktu pengenaan 4 tahun.
  3. WP badan berbentuk Perseroan (PT) batas waktu pengenaan3 tahun.
Batas Pengahasilan yang Dikenai Tarif PPh Final 0,5%
Ambang batas penghasilan wajib pajak yang dikenai PPh Final tidak berubah yakni senilai Rp 4,8 miliar. Batasan nilai tersebut secara eksplisit menargetkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai target pajak. Pemerintah memang ingin merangkul sebanyak mungkin UMKM untuk masuk dalam sistem perpajakan.
Subjek Pajak PPh Final 0,5%
  1. Wajib Pajak orang pribadi
  2. Wajib Pajak badan yang berbentuk koperasi, cv, firma atau PT yang menerima penghasilan atau omset tidak lebih dari Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak yang Tidak Dikenai PPn No. 23 Tahun 2018
  1. Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai PPh Pasal 17 (Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan ke KPP pada tahun pajak-tahun pajak berikutnya terus menggunakan tarif PPh Pasal 17)
  2. Wajip Pajak Badan yang memperoleh fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh atau PP 94 Tahun 2010.
  3. Badan Usaha Tetap (BUT).
  4. CV atau firma yang:
  • dibentuk oleh beberapa WP OP yang memiliki keahlian khusus; dan
  • menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Objek Pajak PPh Final 0,5%
  1. Penghasilan dari usaha, antara lain usaha dagang, industri dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los, kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon dan usaha lainnya.
  2. Peredaran bruto atau omset setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar.
  3. Omset di total dari seluruh gerai/outlet, baik cabang maupun pusat.
Bukan Objek Pajak PPh Final 0,5%
  1. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Misalnya: dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara, dll.
  2. Pengahsilan di luar negeri.
  3. Pengahsilan yang dikenai PPh Final. Misalnya : sewa rumah, jasa kontruksi, PPh Usaha Migas, dan lainnya yang diatur berdasarkan PP.
  4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Perhitungan PPh Bagi UMKM
A. Sebelum Juli 2013 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

 


B. Sebelum Juli 2013 bagi Wajib Pajak Badan
 
 


C. Setelah berlakunya PP No. 46 Tahun 2013.



D. Perhitungan PPh Final UMKM 0,5%
Pengahasilan Bruto X Tarif 0,5% bersifat final
Pelunasan Pajak